26 Feb 2013

Pendidikan Agama yang Gagal

Secara historis, kita mengetahui bahwa pendidikan sekaligus sistem dan institusinya sebenarnya telah hadir mengiringi perkembagan peradaban manusia semenjak tahun 900-an SM. Pada saat itu system pendidikan mula-mula dikembangkan di kota Sparta(Thompson, 1951:1), apa artinya? Artinya bahwa hakekat pendidikan sebagai sebentuk transformasi menuju perubahan-perubahan tertentu telah diyakini manusia sebagai alat yang efektif sejak dahulu kala. Berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk menyelenggarakan pendidikan di masa lampau lambat laun memunculkan institusi pendidikan dan sisitem pendidikan seperti yang ada sekaran ini.Kita mengenal adanya akdemia di Yunani, padepoakn atau pesantren di Jawa, monastery dikalangan gereja, madrasah dikalangan muslim, ataupun santiniketan di India dan sebagainya. Berbagai institusi tersebut diyakini bisa mengubah manusia menjadi lebih baik, lebih beradab dan berbudaya. Pergumulan manusia dengan lingkungan alam yang keras telah mendidik manusia berhati lembut, berbudi luhur, saling megasihi antarsesama dan memperlakukan lingkungan dengan alamnya secara manusiawi pula. Hadirnya moderenisasi disegala lini kehidupan dewasa ini, tak pelak juga merupakan sumbangsih pemikiran dari dunia pendidikan tentunya. Dalam dunia pendidikan sendiri hadir beragam model sekolah dan universitas, akademi dan perguruan tinggi serta bermacam-macam lainnya.
Selanjutnya sesuai dengan tema di atas, penulis ingin menguraikan seperti apa pendidikan agama yang selama ini dicerna oleh anak bangsa di negeri kita ini. Sebab harus diakui bahwa bagaimanapun dalam sisitem pendidikan nasional kita, pendidikan agama menjadi bagian yang terintegral secara utuh dan menyeluruh. Namun sampai saat ini menurut hemat penulis, pendidikan agama belum mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap proses mencerdasan kehidupan bangsa yang menjadi cita-cita luhur dalam sisitem pendidikan nasional kita.
Kegagalan pendidikan agama
Pelaksnaan pendidikan agama di Indonesia gagal membentuk manusia-manusia yang memiliki budi pekerti sebagaimana yang diajarkan oleh agamanya masing-masing, ungkapan ini sesungguhnya bernada ketus sekaligus memilukan bagi stekholder yang memegan kendali penyelenggaraan proses pendidikan agama di Indonesia. Selanjutnya, kendati sulit dibantah bahwa ternyata sampai saat ini juga banyak tokoh-tokoh nasional di negeri ini yang lahir dari rahim pendidikan agama yang gagal tersebut. Hemat penulis, pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-sekolah agama bahkan nyaris diperguruan tinggi agama lebih banyak yang bersifat ritual dan dogmatik.
Pelajaran agama tersebut masih berkisar pada pengajaran tentang persoalan hukum-hukum, aturan-aturan, larangan-larangan dan lainsebaginya. Pelajaran agama yang demikian kurang menyentuh hal yang sangat mendasar yang berkaitan dengan persoalan iman, harapan, dan kasih sayang. Tekanan pengajaran agama masih terletak pada to have religion, bukannya pada to be religious. Orentasi pelajaran semacam ini masih menekankan sifat kesalehan individual daripada kasalehan sosial. Orang yang punya agama belum tentu beriman dan bertaqwa, tapi ada orang yang tidak mempunyai agama, namun hidunya lebih beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. Persoalannya adalah bagaimana agama yang diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi mampu membebaskan anak didiknya dari kesempitan ritualitas, kepicikan dan panatisme buta.
Agama yang berwawasan
Agama yang diajarkan disekolah seharusnya mampu membuka wawasan anak didik untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Dalam hal ini sebagimana yang diungkapkan oleh soedajatmoko mengenai pendidikan, beliau mengatakan bahwa agama seharusnya mampu mewujudan kembali konfigurasi nilai-nilai luhur yang etis. Yang dimaksudkan beliau disini adalah bahwa agama bertugas merajut dan mencandra nilai-nilai kemanusian yang hakiki. Nilai-nilai inilah yang menjadi dasar keimanan dan ketakwaan sebagai bekal untuk menapaki kehidupan di masa yang akan datang.
Menurut penulis, orentasi pendidikan agama tidaklah cukup kalau hanya menyangkut hal-hal yang luar, seperti upacara, ritus, hukum, simbol-simbol, segi-segi sosiologis maupun segi politis dari gejala yang disebut agama. Agama tidak bisa disamakan hanya dengan semua segi luar tersebut, meski juga diakaui bahwa segi-segi luar itu menjadi bagian yang tak terpisahkan oleh agama.
Dengan kalimat-kalimat tesebut, penulis ingin mengatakan bahwa dalam agama yang dipentingkan buklanlah huruf-huruf yang tersusun menjadi hukum-hukum baik perintah maupun larangan, tapi yang lebih penting dari itu adalah ruh atau semangat dari hukum-hukum tersebut, yakni iman, harapan dan kasih sayang. Dalam hal ini orang harus membedakan antara beragama dan beriman.
Sementara pelajaran agama selama ini menurut pengamatan penulis, terjebak pada upaya membuat orang beragama tapi melupakan substansi dari agama itu sendiri yakni iman dan kasih sayang. Pengandaiannya dengan beragama (to have religion), maka otomatis orang akan beriman. Padahal, orang yang beragama secara taat, ke gereja tiap minggu atau bahkan tiap hari, atau mungkin juga tiap hari ke masjid berjamaah dengan segala pernak pernik simbolitas keagamaan, belum tentu dan tidak menjadi ukuran beriman dan bertaqwanya seseorang kepada Tuhan.
Pendidikan agama kita sekaran ini terkesan membuat orang menjadi suci, taat pada aturan agama sampai sedetai-detailnya(kesalehan individual) tetapi kurang memberi perhatian dan apresiasi yang dalam terhadap masalah-masalah sosial(kesalehan social). Pendidikan semacam ini bisa saja menghasilkan anak yang saleh tetapi picik, arogan, dan ingin menang sendiri karena diliputi oleh egoisme yang tinggi. Seharusnya arah dasar dari pendidikan agama adalah membawa orang(anak didik dan juga yang mendidik) untuk makin beriman dan bertaqwa bukan sekedar beragama an sich; membawa orang untuk to be religions, bukan sekedar to have religion. Yang dinamakan religiusitas itu adalah disposisi atau sikap dasar dan sebuah karakter diri yang membuat orang beramal baik, bersifat penuh kasih sayang, merasa rindu serta terawasi dan ingin dekat dengan Tuhan. Dalam bahasa santo paulus, yang hakiki adalah apa yang disebut sebagai “hidup di dalam roh”, atau kata Muhammad S.aw, manusia yang baik adalah manusia yang senantiasa bermamfaat bagi manusia yang lain.
Pendidikan agama yang menyenankan
Religiusitas (iman, taqwa, harapan dan cinta kasih) yang merupakan tujuan pendampingan dan pembinaan anak didik kita merupakan hal yang paling penting dan vital. Agama memang penting, tapi ia bukanlah tujuan. Agama tidak lebih hanyalah jalan, wahana, sarana demi mencapai iman dan taqwa yang hakiki. Iman dan takqa juga bukan merupakan monopoli dari satu dua agama saja, tetapi menyangkut sejauh mana aktualisasi nilai-nilai agama yang dihayati dan diamalakan dalam kehidupan sehari-hari.
Tawaran ini mengandaikan pelajaran agama tidak lagi formalistik atau pengajaran konvensional dimana anak didik disodori untuk menghapal rumusan dan teks-teks suci agama, tetapi anak didik diajak untuk merefleksikan pengalaman imannya lewat peristiwa dan kejadian yang dialami dalam kehidupan sehari-harinya, kemudian dijadikan bahan untuk menumbuhkan dan menyegarkan keimanannya untuk memahami segala sesuatu yang terjadi disekelilinnya. Intinya, yang diajarkan bukan melulu pelajaran agama yang tidak bisa menyapa zaman, sebab pengetahuan agama belum tentu menjamin orang bersangkutan untuk hidup sesuai dengan pengetahuan agama yang dimilikinya. Itulah sebabnya, pengajaran agama harus terkait dengan realitas kehidupan dimana dimana anak didik diajak secara aktif melihat, mengamati, mengambil sikap terhadap kejadian yang dialaminya, bukan hanya sekedar hafalan yang melekat di bibir dan mewarnai kulit, tetapi tidak mampu mengubah prilaku. Karena itu sudah selayaknya pola pembinaan agama yang diajarakan di sekolah dan di perguruan tinggi tidak sekedar transfer ilmu, tapi mengajarkan pendidikan agama yang substansial, santun, dan otentik.
Akhirnya, pendidikan agama yang menyenankan sesungguhnya adalah pendidikan agama yang lebih berorientasi pada pendalaman dan penghayatan nilai-nilai, bukan lagi pada indoktrinasi, tapi juga menyentuh hal yang mendasar dan sederhana yakni kejujuran, cinta kasih, fairplay dan tanggun jawab. Semoga, wallhu a’lam.

0 komentar :

Posting Komentar