14 Apr 2011

ERA GLOBALISASI: Apa Kontribusi Pendidikan Islam?

Hingga abad 21 kini pendidikan Islam masih sedang mengalami tantangan yang amat berat. Salah satu tantangan terberat yang dihadapi pendidikan Islam saat ini adalah globalisasi, baik di bidang kapital, budaya, etika maupun moralitas. 

Era globalisasi adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam produk material dan jasa. Kalau dulu misalanya, untuk membangun basis ekonomi masyarakat sangat mengandalkan pada money-capital(modal uang) atau populer diistilahkan oleh Karl Marx sebagai era kapitalisme menengah (baca: pemenuhan faktor produksi) selanjutnya berevolusi menuju ke arah era human-capital atau era kapitalisme lanjut dengan ciri utama yakni penguasaan SDM yang mumpuni, menguasai Iptek, dapat megerjakan tugas secara profesional serta berprilaku dan berkepribadian mandiri dan bebas.
Pada perkembangan kedua era capital tersebut yakni money-capital dan human-capital kini masih dianggap kurang memadai. Justru masyarkat yang mau membangun basis ekonomi yang kuat sangat membutuhkan sosial-capital yang kokoh. Inti dari sosial-capital adalah trust(sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya. Menurut pengamatan para ahli, bahwa dalam bidang sosial-kapital bangsa Indonesia saat ini hampir-hampir mencapai titik “zero trust society”, atau masyarakat yang kurang dipercaya. Sebagai salah satu indikator, bahwa menurut hasil survey “the political and economi risk consultancy”(PERC) tahun 2004 bahwa indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai 9,2 persen atau ranking pertama se-Asia. Bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat sampai 9,4 persen.
Setelah diteliti, ternyata benar bahwa telah terjadi korupsi bermiliar-miliaran atau bahkan triliyunan diberbagai instansi dan institusi. Sebagai akibatnya, kita kalah bersaing dengan orang-orang luar, basis-basis ekonomi justru dikuasai oleh orang-orang asing, karena mereka dapat dipercaya daripada masyarakat kita sendiri. Sementara kita harus mengabdi kepada mereka, sebuah realitas yang ironi sekaligus memilukan.
Dalam konteks pendidikan pun tak kalah menarik untuk dicermati, misalnya munculnya pemalsuan ijazah, tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi skripsi, tesis atau desertasi dan lain-lainnya, juga merupakan indikator yang kuat terhadap rendahnya sikap amanah(trust) yang dihadapi bangsa kita saat ini.
Fenomena tersebut diatas merupakan tantangan yang harus dijawab oleh lembaga pendidikan Islam, dalam arti apa kontribusinya dalam membangun masyarakat yang memiliki sikap amanah(trust) yang tinggi tersebut dimasa yang akan datang. Apakah yang dapat diperbuat terhadap para siswa/mahsiswanya sebagai generasi penerus untuk terwujudnya masyarakat madani, yakni masyarakat yang memiliki pribadi-pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat berdiri sendiri dan bekerja sama dengan orang lain untuk menciptkan masyarakat yang sejahtera dan penuh sikap manah.
Di samping itu, kita juga sedang menghadapi globalisasi di bidang budaya, etika dan moral. Sebagai akibat dari kemajuan tekhnologi terutama di bidang informasi. Melalui media massa yang canggih menyebabkan peran guru/dosen pada umumnya dan khususnya guru/dosen agama Islam dalam pendidikan sudah mulai bergeser, terutama dalam pembinaan moralitas peserta didik. Para siswa/mahasiswa saat ini telah mengenal berbagai pesan pembelajaran, ada yang bersifat pedagogis dan mudah dikontrol dan banyak pula yang sulit dikontrol.
Sumber-sember pesan pembelajaran yang besifat pedagogis dan mudah dikontrol adalah: guru/dosen itu sendiri, buku-buku pelajaran, buku-buku bacaan umum, pada kondisi ini ada yang mudah dikontrol oleh guru/dosen dan ada yang sulit dikontrol. Sedangkan yang sulit dikontrol antara lain: surat kabar, majalah, radio, film atau CD porno, televisi dengan antena parabola(digital), komputer dengan internetnya, dan hendphone dengan berbagai kecanggihannya. Sumber-sumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol oleh pendidik tersebut dapat mempengaruhi perubahan budaya, etika, dan moral para siswa/mahasiswa dan masyarakat umum. Masyarakat yang semula merasa asing dan tabu terhadap model-model pakaian (fashion) dan hiburan-hiburan (fun) atau film-film porno dan sadisme yang ditayangkan di TV, atau tabu dengan bacaan dan gambar porno yang dimuat di majalah, kemudian berubah menjadi biasa-biasa saja(permissive), bahkan ikut menjadi bagian dari trend(prestise) hidup masa kini.
Sebagian ekses dari pesan-pesan pembelajaran yang sulit terkontrol tersebut adalah munculnya sikap sadisme, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan dan sebagainya dikalangan masyarakat kita. Karena itu, tidak heran jika kita sering menghadapi, model kehidupan yang paling kontroversial dapat dialami dalam waktu yang sama serta dapat bertemu dalam pribadi yang sama, yaitu antara kesalehan dan keseronohan, antara kelembutan dan kekerasan, antara koruptor dan dermawan, antara koruptor dan keaktifan beribadah(shalat, haji, atau umrah), serta antara masjid dan mall, yang terus menerus berdampingan satu sama lain. Kondisi ini adalah kondisi paradoks, sebuah kondisi yang yang tak dapat diterka dan terduga sebelumnya.
Berbagai tantangan semacam itu menuntut para pengelola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi fenomena tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengtaasi fenomena semaam itu. Inilah yang perlu kita cari dan kaji secara terus menerus.
Kontribusi Pendidikan Islam; Sebuah Tawaran
Kita harus memahami dan menyadari bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang sengaja dikelola dan diselenggarakan atau didirikan dengan “hasrat dan niat” mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam melalui kegiatan pendidikannya. Dalam khazanah Tasawuf, kata “niat” mengandung pengertian suatu usaha yang direncanakan dengan sungguh-sungguh, yang muncul dari hati yan suci dan bersih karena mengharap ridha Allah, bukan karena interes-interes yang lain. Niat tersebut ditindaklanjuti dengan mujahdah, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat serta berusaha melakukan kebaikan atau konsisten dengan sesuatu yang direncanakan. Kemudian dilakukan muhasabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi terhadap rencana yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan niat atau rencana semula, hendaknya bersyukur. Sebaliknya jika gagal, atau kurang berhasil dengan rencana semula, harus segera beristighfar atau bertobat kepada-Nya sambil memohon pertolongan kepada-Nya agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan niat atau rencananya tersebut.
Bangsa Indonesia, termasuk Islam, sudah bertekad menjadikan pancasila sebagai falsafah bangsa. Tekad ini mestinya diwujudkan dalam kehidupan berekonomi, berpolitik, berbudaya, mengembangkan pendidikan dan seterusnya. Menurut Prof. Dr. Muhaimin, bila dianalisis dengan menggunakan pendekatan filsafati, pancasila bukan mengandung lima dasar, malainkan empat: (1) kemanusia yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang maha Esa; (2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang maha Esa; (3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang maha Esa; dan (4) keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang maha Esa. Pengertian ini sejatinya tersurat dan ter(simbol)isasi dalam gambar yang ada di dada garuda yang dijadikan lambang pancasila. Selain dari pengertian tersebut dapat pula dimaknai bahwa dalam falsafah pancasila sesungguhnya seluruh dimensi kehidupan kita diarahkan kepada bentuk ketunggalan realitas yang menguasai hidup kita, yakini kepada Tuhan yang maha Esa.
Dalam konteks pendidikan, ide-ide atau nilai-nilai dasar itu seharusnya diturunkan ke bawah dalam arti bahwa pancasila mesti di-bumi-kan dan tidak terlalu disakralakan, sebab dengan pen-bumi-an pancasila kita akan mampu menyerap seluruh dimensi serta muatan nilai dan pesan luhur yang ada di dalamnya. Hanya saja menurut penulis, pada tataran oprasional dan pada wilayah praktis ide-ide dan nilai-nilai pancasila yang luhur mulai tidak jelas atau bahkan menghilang sama sekali. Terutama ketika di implementasikan dalam wilayah pendidikan di sekoloh dan perguruan tinggi, yang mengakibatkan para peserta didik saat ini mengalami krisis nilai dan akhlak. Nilai-nilai ketuhanan dan keimanan belum sepenuhnya menjadi inti atau core dalam pengembangan pendidikan saat ini. Akibatnya lulusan dan alumni sekolah dan perguruan tinggi kurang memiliki nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang kuat kepada Tuhan yang maha Esa, yang pada gilirannya menyebabkan krisis multidimensional sebagaimana keadaan bangsa saat ini, yang intinya terletak pada krisis moral atau akhlak.
Timbulnya tindakan-tindakan dekadensi moral, termasuk di dalamnya budaya KKN(korupsi, kolusi dan nepotisme), antara lain disebabkan karena rendahnya penghayatan akan nila-nilai luhur ketuhanan dan keimanan kepada Tuhan yang maha Esa. Karena itu, para pengelola pendidkan Islam perlu merenungkan kembali pesan pesan Tuhan dalam al-Qur’an, “wahai orang-orang yang berimana bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri(individu) melakukan nazhar(refleksi) terhadap segala sesuatu(ide, konsep atau rencana kerja) yang telah diajukan dan ditawarkan untuk hari esok(masa depan) dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha pemberi khabar(balasan) terhadap perestasi kerjamu.(QS. Al-Hasyr(59):18)
Melakukan Nazhar atau refleksi dan perenungan dapat berarti at-taammul wa al-fahsh, yakni melaukan perenungan atau menguji dan memeriksa secara cermat dan mendalam; dan bisa berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan rekonstruksi cara pandang dan cara penalaran(kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat serta menganilisa sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatife serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif dan cara pandang guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik. Wallahu a’lam

0 komentar :

Posting Komentar