20 Jun 2010

POLIGAMI & Wacana Seksualitas; Kemana Nasibmu Kini?


Beberapa tahun yang lalu, tetapnya 25 Juli 2003, berlangsung pesta pemberian anugerah “Poligami Award” di sebuah hotel megah, Aryaduta di Jakarta. Kegiatan ini dipelopori oleh seorang pebisnis Ayam Bakar “wong solo”, Puspo Wardoyo, yang mengkampanyekan keberhasilannya berpoligami hingga empat istri. Namun jauh setelah hajatn itu terjadi, wacana mengenai poligami telah mewarnai pemberitaan disejumlah surat kabar dan media lainnya, juga berbagai macam forum diskusi dan dialog muncul kepermukaan mengagendakan wacana poligami tersebut, tak pelak lagi para pejuan HAM dan tokoh emansipasi yang selama ini memperjuangkan isu kesetaran dan keadilan unjuk bicara.
Tulisan ini boleh jadi menjadi wacana yang usang buat pemerheti Poligami karena serinnya diulas diberbagai tempat dan media, namun bagi penulis, tulisan ini hanya sekedar ingin membuka krang ingatan atau sebuah Refsodiy kita tentang wacana poligami yang hampir akhir-akhir ini menjadi isu yang sudah tidak menarik untuk diulas dan diperbicangkan. Apakah wacana ini hanya sekedar pemanis rasa di tengah kehampaan budaya massa yang mengitari hidup ummat Islam atau sengaja diproduk oleh institusi ke(Kuasa)an yang bermain mata dengan media dalam mengalabui opini publik (Ummat), entahlah. Tapi mengikuti pembacaan Michel Foucault yang mengatakan bahwa diskursus atau wacana yang berkembang di tengah publik tidak pernah lepas dari jejarin relasi ke(Kuasa)an yang ada saat itu.
Menurut Ratna Bantara Murti dalam Demokrasi Keintiman (2005) Fenomena wacana poligami ini menarik untuk dicermati minimal beberapa perspektif. Pertama, ia muncul di tengah konteks masyarakat Indonesia khususnya di kota-kota besar dan kemungkinan juga di desa-desa dan sudut pedalaman yang jauh di seberang sana, yang saat ini tengah memasuki millennium baru (abad 21), atau tepatnya berada dalam suatu era globalisasi dengan berbagai fenomena perubahan dalam konteks sosial ekonmi dan ploitik. Globalisasi dipahami sebagai sebuah rangkaian transformasi yang saling memperkuat dan yang terjadi kurang lebih secara simultan; sebagaimana yang diungkapkan oleh Robin Cohen dan Paul Kenedy dalam Global Society (2000) bahwa Globalisasi adalah seluruh proses dimana orang-orang diseluruh penjuru dunia menyatu dalam masyarakat tunggal, yaitu masyarakat global. Keterhubungan yang antara orang-orang yang semaking memperkecil jarak ini dimungkinkan oleh perkembangan tekhnologi-informasi yang semaking cepat dan pesat. Dengan tekhnologi informasi/ komunikasi dan ekonomi-elektronik yang super canggih, mereka mengatasi batas-batas negara dan memunculkan apa yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai “Kampung Global” (global village).
Globalisasi tidak hanya membawa kepada tataran makro ekonomi-politik, tetapi juga ditingkat mikro, khusunya pada tataran seksualitas dan keluarga. Giddens mengidentifikasi adanya perubahan yang mendasar di masyrakat maju (Barat), tetapi juga tak terlepas kepada masyarakat lain yang lebih tradisonal. Artinya fenomena seksualitas dalam keluarga adalah fenomena Global (revolusi global), dimana mereka semakin mengalami apa yang disebut “detradisionalisasi”, meski tidak berarti bahwa tradisi itu lenyap. Yang terjadi adalah munculnya sikap memepertanyakan dan dan resistensi tehadap tradisi serta semakin sedikitnya tradisi yang dihayati secara tradisional dengan jalan mempertahankan klaim-kalim kebenarnnya. Tuntunan demokratisasi ternyata tidak hanya terjadi dan berlangsung di gedung parlemen atau wilayah abu-abu politik kenegaraan, tetapi juga dikawasan yang dipandang selama ini sebagai wilayah privat dan tabu (Baca: seksualitas).
Kedua, lanjut Ratna Batara Murti mengatakan, bahwa isu poligami mestinya bukanlah isu yang baru dan dibaru-barukan; praktinya jauh sebelum Kartini lahir. 29 tahun yang lalu pemerintah Indonesia telah melegalkan dan mengaturnya dalam sebuah undang-undang perkawinan yang berlaku untuk semua penduduk. Pewacanaan poligami saat ini dimunculkan kembali seolah-olah ia merupakan hal yang baru dan cukup besar menyedot perhatian publik saat ini. Meski demikian pada dasarnya adanya “Poligami Award” bagi penulis adalah kawasan baru dalam kerangka dan dengan isi yang sama, yakni merupakan wacana reproduksi seksualitas yang menekankan “superioritas seksual” jenis laki-laki (Baca:Fallosentrisme) atas perempuan. Namun yang menarik dicermati dalam konteks ini adalah, apa dan bagaimana wacana itu dimunculkan kembali serta atau bungkus seperti apa sehingga wacana yang dipicunya mendapat perhatian publik yang serius.
Di era globalisasi saat ini, segala jenis keterbukaan dan kemudahan bagi warga kosmopolit-dalam kampung Global-dimungkingkan oleh perkembangan tekhnologi komunikasi. Keterbukaan dan kemudahan dalam mengakses informasi apa pun, khusnya yang berkaitan dengan seksualitas manusia, telah memunculkan berbagai wacana dan perdebatan yang menyangkut nilai-nilai yang selama ini diapandang kaku, baku dan sakral, seperti moralitas seksualitas keluarga patriarki. Menurut Giddens, hanya sedikit negara di dunia ini yang tidak mengalami diskusi intensif tentang kesetaraan seksual, regulasi seksualitas dan masa depan keluarga.
Dalam konteks ini, wacana poligami muncul ditengah-tengah perwacanaan resistensi terhadap keluarga tradisional, seperti pilihan untuk melajang, orangtua tunggal, trend perselingkuhan, gerakan kebebasan seksual bagi homoseksual, dan wacana kesetaraan jender. Pewacanaan ini dapat dihubungkan dengan keberadaan gerakan sosial bagi politik-politik identitas atau apa yang disebut Giddens sebagai politik pilihan hidup(perjuangan politik bagi alternatif-alternatif pilihan hidup) berbeda ciri gerakan sosial pada masa sebelumnya yang berkutat pada politik emansipasi. Globalisasi dengan perkembangan tekhnologi dan informasinya telah mempercepat pembentukan politik identitas seiring menguatnya wacana HAM international. Dapat dikatakan, di era globalisasi ini semakin terjadi pemisahan antara seksualitas dari reproduksi. Prokreasi tidak lagi menjadi satu-satunya tujuan utama dalam perkawinan, tetapi rekreasi juga sebagi tujuan yang harus dicapai dan diraih. Gerakan untuk mewujudkan hak-hak atas kesehatan reproduksi mesti diikuti dengan perwujudan terhadap hak-hak seksual (Konferensi Kairo tentang kependudukan, ICPD, 1994).
Seperti politik identitas lainnya, wacana poligami juga adalah bagian dari gerakan politik identitas, yang muncul secara berhadap-hadapan atau dapat dikatakan resisten terhadap bentuk-bentuk politik identitas lain, yang dimukingkan dengan adanya toleransi cosmopolitan saat ini. Penghormatan terhadap HAM, demokratisasi, dan nilai-nilai universal lainnya serta toleransi atas kompleksitas budaya sebagai cirri masyrakat kosmopoitan, dalam perkembangannya membuahkan politik-politik identitas tertentu, yang kerap dimaknai sebagi gaya hidup permisif dan terasa mengancam sendi-sendi moralitas tradisional bagi kelompok yang selama ini berlindung di balik tradisi yang ada.
Munculnya wacana poligami sebagi politik identitas yang diusng oleh kelompok agama tertentu tergolong sebagai bagian dari pemunculan gerakan fundamentalisme di era globalisasi. Meskipun demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Philiph McMichael (2000) bahwa Fundamentalisme sebenarnya bukan hanya monopoli kelompok agama, tetapi lebih merupakan paham yang mengekspresikan untuk kembali pada kemudahan dan kedaisiplinan yang diperoleh dari aturan-aturan prilaku tardisional, termasuk dalam konteks ini bagaimana mempertahankan nilai-nilai tradisional keluarga(Baca: Patriarkal) suatu kondisi keluarga yang mana Bapaklah yang menjadi penentu segalanya.
Lebih tegas lagi Giddens menyatakan bahwa fundamentalisme itu adalah “tradisi yang terkepung”. Inilah taradisi yang dipertahankan secara tradisional dengan mengacu kepada keberadaan ritual di dunia yang dilanda globalisasi yang menuntut penalaran. Namun sebenarnya kalau kita mau melcak secara dalam bahwa ternyata, fundamentalisme adalah “anak haram” dari globalisasi, karena ia menanggapi, menunggangi dan memamfaatkan globalisasi seperti penggunaan tekhnologi komunikasi dan informasi. Dengan demikian sama seperti halnya kaum cosmopolitan, para pendukung poligami saat ini dan di era ini pun dapat menggunakan dan memaksimalkan penggunaan tekhnologi dan media komunikasi untuk memasarkan identitas dan menjajakan idenya ke khalayak publik.
Mereka juga sama-sama berpeluang memamfaatkan dan merebut ruang publik, yang dengan senang hati disediakan oleh kapitalis media. Namun, sejauh mana perebutan itu dimukingkan di tingkat wacana dan sejauh mana ia mencerminkan apa yang diprediksi oleh Giddens, bahwa abad ke-21 adalah ajang tempur antara kelompok-kelompok politik identitas, antara fundamentalisme-tradisonal dan toleransi- cosmopolitan, antara kelompok yang mendukung kesetaraan perempuan dan yang menganggapnya sebagai ke-Barat-barat-an, impor dan sekuler. Akhirnya selamat meyaksikan pertempuran tersebut, semoga dapat menghilangkan ke-penat-an di era globalisasi saat ini. Wallahu a’lam..

0 komentar :

Posting Komentar