26 Feb 2011

Menggugat Al Qur'an

Sebagaimana diketahui, dan pada umumnya sudah terpahamkan kepada umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci, dan bukan merupakan buku biasa. Ajaran Islam, yakni Al-Qur’an, adalah lembaran-lembaran yang disucikan, di dalamnya terdapat isi kitab-kitab yang lurus. Bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dan disucikan. Menurut ulama tersebut, karena al-Qur’an yang sifatnya suci tidak bisa dikaji sekedar dengan otak manusia yang profan (bersifat duniawi dan tidak suci).
Pernyataan ini sekaligus mendedikasikan dan memproklamirkan bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama dalam berislam, dengan kata lain tanpa percaya dan memahami al-Qur’an bisa jadi keislaman kita dipertanyakan keabsahannya atau gagal sama sekali, betulkah demikian,? sebuah pertanyaan yang butuh jawaban.
Selanjutnya, eksistensi Al-Hadis (perbuatan, perkataan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw) pun tidaklah menariknya dengan Al-Qur’an. Kesepakatan ulama Hadis mengatakan bahwa Al-Hadis merupakan penjelas dari Al-Qur’an. Disinilah sebenarnya peran penting dari sebuah Hadis, sebagai sebuah sistem penjelas yang dapat menguraikan dengan tegas seperti apa isi Al-Qur’an yan suci itu. Dari persepektif inilah kemudian berubah menjadi doktrin dan ideologi yang absolut bagi umat Islam bahwa tanpa berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai sebuah referensi utama dalam melaksanakan ajaran Islam niscaya kita tidak akan pernah selamat.
Pernyataan ini menjadi sangat kuat dan shahih adanya karena didukung oleh Hadis nabi: “Telah aku tinggalkan dua perkara bagimu, jika kamu berpedoman kepada kedua perkara tersebut kamu pasti akan selamat dunia-akhirat, dua perkara itu adalah Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw.
Peneguhan Al-Hadis sebagai sumber hukum yang dapat menjelaskan Al-Qur’an secara komprehensif, dikritik secara tegas oleh Muhammad An-Nuwaihi, seorang pemikir dari Mesir. Ia mengatakan bahwa Jika Al-Qur’an memuat legislasi dan hukum yang komprehensif, maka ia seharusnya tidak membutuhkan ketentuan tambahan penjelas dari Al-Hadis. Ia melanjutkan, Jika Al-Qur’an dan Hadis sebagai subuah sumber berislam yang lengkap, seorang muslim tidak membutuhkan praktik dan perkataan sahabat dan penerus-penerusnya, dan jika seluruh sumber itu telah mencukupi, Islam tidak membutuhkan Madzhab hukum, termasuk empat madzhab yang masih bertahan untuk merespon keragaman kebutuhan umat saat ini.
Bagi penulis, penjelasan An-Nuwaihi di atas semakin mempertegas posisi ambivalensi Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sebuah sumber hukum dalam Islam. Posisi Al-Qur’an menjadi tergugat dan terlemahkan akibat dari pretensi Al-Hadis yang menjadi penjelas dari Al-Qur’an tersebut. Boleh jadi benar apa yang dikatan oleh Qasim Amin seorang yang dicap kafir oleh ulama Mesir, karena menolak secara tegas Al-Hadis sebagai sebuah sumber hukum yang kedua dalam Islam. Baginya Al-Hadis hanyalah kitab romantisisme perjalanan hidup Nabi Muhammad selama ia hidup di Arab dan di Madinah.
Secara ekstrim, problema ketegangan Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sebuah sumber ajaran Islam pun secara tegas ditolak oleh Ahmad Wahib, seorang intelektual muda Islam yang mati muda, dan sekarang dicap sebagai sesepuh penyebar paham liberal di Indonesia. Ia menafikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar Islam. Ia menulis dalam catatan hariannya: “Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur’an dan Hadis melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur’an dan Hadis adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya.” (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).
Pemikiran Wahib di atas boleh jadi membuat kita tidak sepakat, tetapi bagi penulis ini merupakan pemikiran yang menguncang iman dan menggoyang nalar keberagamaan kita selama ini. Secara tegas Wahib menolak bahan-bahan dasar ajaran Islam yakni Al-Quran dan Hadis Nabi saw. ia menafikan Al-Quran dan Hadis sebagai dasar Islam. Al-Qur’an dan Hadis menurutnya adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri.
Bagi ulama konvensional mengatakan, ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah Swt yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur’an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib. Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS Al-Baqarah: 23).
Selanjutnya Wahib menegaskan bahwa Al-Qur’an dan Hadis hanyalah sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Bahkan Ahmad Wahib mensejajarkan Al-Qur’an dan Hadis dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. ia menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya.
Wahib secara tegas sebenarnya ingin mengajukan proposisi logis dalam memahami ajaran agama Islam dengan mengajukan Shirah atau sejarah Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam, sebab baik Al-Qur’an maupun Hadis menuruntanya, sudah tercantum di dalam sejarah atau Shirah Nabi Muhammad Saw.
Sepakat atau tidak sepakat dengan pikiran Ahmad Wahib di atas, bagi penulis tetap terbuka ruang kontekstasi untuk melakukan eloborasi lebih jauh terhadap setiap pemikiran yang ada. Tak pernah ada pemikiran yang lepas dari ruang dan waktu yang mempengaruhinya. Baik, An-Nuwaihi, Qasim Amin maupun Wahib sendiri adalah gemuruh yang akan melulantahkan paham konvensional keberagamaan kita selama ini yang tidak berani menggugat hal-hal yang sudah dianggap final oleh ulama, tak terkecuali kedudukan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam.

0 komentar :

Posting Komentar